Drama Milih Dokter Anak di Hermina GrandWis

Assalamu’alaikum

Aya tiba-tiba sakit.

Sakit apa?

Begini ceritanya, Sabtu malam Aya tiba-tiba demam tinggi, sampai 40 derajat. Bingung, karena ga ada gejala selesma, seharian kami juga cuma di rumah, ga ada aktivitas fisik berlebihan, dan ga jajan apapun. Saya langsung buka milis sehat, webmd, segala jurnal lah, karena khawatir anak ini kena demam dengue, secara beberapa hari belakangan kan udah masuk musim pancaroba dan di rumah mamah (tempat Aya tinggal selama saya kerja) banyak nyamuk.

Perkiraan lainnya, kalau demam mendadak, maksudnya tanpa disertai batuk pilek, adalah infeksi saluran kencing. Tapi saya cek permukaan vaginanya, ga ada yang harus diatensi. Yaudahlah sebagai ibu sabar aja ye kan, meski kasian, karena begitu kondisinya ngedrop Aya langsung lemes dan rewel banget. Dikasih paracetamol dia nolak, langsung dilepeh. Kalau sama Aya, no means no. Saya juga ga maksa, mikirnya insyaAllah asal terhidrasi dengan baik saya rasa dia belum butuh antipiretik. Untungnya, makan dan minum masih mau, buah, susu, dan camilan juga masuk.

Hari kedua demam, suhunya masih seputaran 38-39. Lemes, rewel, minta gendong dan gamau lepas, biasa lah ya. Tapi makan minum masih lancar, bisa diajak main juga. Suami saya telepon RS Hermina Grand Wisata untuk book dr. Erwin Lukas Hendrawan, Sp.A. untuk besok, pas hari ketiga demam. Dokter ini andalan kami karena recommended banget, bahkan banyak direkomendasikan di mommiesdaily dan theurbanmama, karena cerdas, pro ASI, pro RUM, informatif, dan teliti banget.

Tapi begitu suami saya pulang kerja dan liat anaknya masih demam, dia tiba-tiba panique. Gatau dapet ide dari mana, dia langsung inisiatif bawa Aya ke dokter. Penjelasan saya “Hari ketiga demam aja beb, anakmu masih mau makan minum kok. Kalo tes darah, hasilnya pun baru informatif lepas hari ketiga,” langsung mental bok. Yaudahlah ya.

Karena serba dadakan, kami booking dokter sekenanya, “Yang paling senior” kunci utamanya. Kami datang bada maghrib, dan ternyata dokter yang di-book baru praktik jam set8 malam :/ oke fine, saya udah males. Pindah ke dr. Theresia yang antriannya paling dikit, eh kami udah ngantri, mendadak dokternya ga praktik. Istighfar, emang terburu-buru itu pekerjaan setan ya :/ akhirnya tembak sekenanya lah yang ada, kami sampai di opsi dr. A. Ini dia dokter ga oke di Hermina GrandWis.

Kan saya emak-emak google banget ya, menyandarkan keputusan pada mesin pencarian ini. Pas lagi ngantri, saya iseng searching siapa dan bagaimana si dr. A ini. Hasilnya nihil dong. Ya profil-profil doang tanpa isi yang lengkap. Ga ada yang ngereview kinerjanya, ga ada publikasi tulisannya, dan ga ada namanya kesebut jadi pembicara. Oke, saya mulai waspada.

Pertama menyambut kami, dia nanya soal demamnya Aya. Berapa lama, sudah dikasih obat apa, dan suhunya berapa. Terus dia nyatet angka yang saya sebutkan di buku Aya. Dalam hati, “eh ga diukur sendiri dulu”. Terus Aya diperiksa, entah kenapa yang biasanya anak ini kooperatif banget sama tenaga medis, waktu itu tiba-tiba dia berubah. Nangis jejeritan gamau disuruh buka mulut. Si dokter cek mulut dan kuping bentar banget, terus bilang “Oh radang tenggorokan” WHATTT!! DIAGNOSIS MACAM APA ITU? ini persis banget sama bahasan dr. Arifianto (Apin), kalau radang tenggorokan adalah diagnosis yang sangat umum diberikan. Dokter baiknya memastikan jika memang benar radang tenggorokan, apa jenisnya? sore throat atau strep throat. Bisa dibaca di sini tentang keduanya.

Saya malam itu emang lagi mangkel banget ya, jangankan nanya, ngerespon dokter aja males. Tapi begitu dia ngeresepin puyer buat Aya, ya Allah 😦 saya langsung tolak. Komentarnya cuma “oh susah ya minum puyer, yaudah ganti sirup ya,” bukan bu, bukan itu, coba ibu buka link ini biar paham kenapa jangan puyer. Jadi, jangan puyer ya buk ibuk 🙂

Terus dokter A ini bilang kalau sampai hari ketiga demamnya masih tinggi, hari keempat harus cek darah tepi, CRP, dan widal. “Hasilnya langsung bawa ke saya lagi, saya praktik pagi. Kalau saya ga ada, telpon aja ya nanti janjian,” ngebet banget bu dokter :/ setelahnya, saya mempertanyakan tes widal, masa iya dia curiga Aya tipes. “Loh sekarang ga harus demam 7 hari lho bu,” jawabnya waktu saya konfirmasi gejala tipes. Agak tersinggung nih, lah iya Aya kan baru dua tahun, makan selalu makanan rumah, jajan pun di bawah supervisi saya atau mamah, sanitasi di lingkungan kami juga baik, ya masa ujug-ujug dicurigai tipes. Tapi apalah saya mau mendebat, yang penting saya masih punya kuasa untuk tidak konsultasi ke dokter ini lagi.

Begitu ke farmasi, saya disodorkan tiga jenis obat, sirup untuk flu (ya Allah saya tobat sama dokter ini, padahal udah jelas Aya ga ada selesma), vitamin imun, dan antibiotik untuk radang tenggorokannya. Hmmmm, saya cuma ambil vitamin imun dan minta copy resep untuk yang lain. Melihat Aya masih gampang makan dan minum, saya ga percaya diagnosis radang tenggorokan, makanya saya ga berani ngasih Aya antibiotik untuk “radang tenggorokan” yang belum jelas penyebabnya bakteri atau virus.

Sampai di rumah, begitu tau saya cuma mau ngasih vitamin ke anak, suami protes. Intinya suami ga sepemahaman sama saya soal sakitnya Aya dan obat yang harus dikonsumsi. Kalau dokter bilang A ya A, kasih obat A ya ditebus dan diminum. Hal ini dapat dimengerti sih, karena kami juga berasal dari latar belakang keluarga yang beda banget. Kalau dulu saya dan adek-adek sakit, pasti si mamah langsung buru-buru ke dapur, ngambil bahan-bahan yang bisa bantu nyembuhin. Bahkan waktu saya kena liver, ayah mamah selain bawa saya ke dokter, juga minumin saya jamu dan ikut akupunturnya alm dr. Hembing. Nah, suami saya kebalikannya, keluarganya punya sekotak besar isi obat-obatan, yang umumnya adalah antibiotik, rumah sakit jadi tempat yang familiar banget, copy resep pun numpuk di lemari. Pernah waktu kami mudik, Aya baru uhuk-uhuk aja saya langsung dibekalin obat batuk anak. Sebetulnya, ga ada yang salah dan ga ada yang benar, cuma beda aja, dan saya males bahasnya malam itu. Prinsip saya satu, yang penting anak eug ga minum obat sembarangan.

Hari ketiga, panasnya udah turun ke 38 derajat, lebih ceria dan aktif, tapi tetap bau tangan. Saya sholat sambil gendong, pup sambil mangku, tidur sambil meluk. Ohiya selama demam ini saya tetap mandiin Aya dengan air hangat dan ngolesin essentials oil peppermint di telapak kaki dan RC di dada dan punggung.

Lalu, tibalah di hari keempat di mana saat bangun pagi semua hal buruk kayak ga pernah terjadi. Suhu Aya normal, cerewet lagi, loncat dan lari-larian ga jelas, ya Allah gimana bisa dia tiba-tiba sehat :”) tapi kami tetap ke Rumah Sakit untuk cek darah dan ketemu dokter.

Sebelum booking dokter, saya googling satu-satu nama dokter anak di Hermina Grandwis. Dokter yang banyak direkomendasikan dan profilnya menarik adalah Erwin Lukas (andalanqoe), Tumpal Yansen, Natalina, dan Rini Purwanti. Nah yang terakhir ini akhirnya saya pilih karena selain emang satu-satunya dsa yang jadwalnya cucok, nama doi juga beredar di dunia maya. Punya blog, tulisan-tulisannya seputar kesehatan anak menandakan beliau pro RUM, dan ilmunya update, beberapa kali nyetor tulisan atau jadi narasumber di artikel kesehatan media online, dan pembicara di seminar-seminar.

Bener aja, pertama masuk ruangan auranya bagus, si dokter ramah banget super heboh pas nyambut kami. Aya langsung naik tempat tidur padahal belum disuruh :/ terus muteeer aja di sana mainan sama susternya. Hasil tes darah pun dibacakan, dan dia langsung berseru “oh ini cuma kena virus”, dan ngejelasin satu-satu hasil lab. Bukan demam dengue, karena kadar trombosit normal, hematokrit atau kekentalan darah juga normal, tapi Aya tetap harus nambah minum. Beberapa komponen darah putih meningkat, ini menandakan tubuh lagi bereaksi terhadap virus yang masuk. Pas sampai ke tes widal, dokter ini bilang “Kok pakai tes widal ya, kalaupun dicurigai tipes (karena umumnya terjadi di anak usia lebih besar dan demamnya lebih dari lima hari), saya pakai tes tubex,” ternyata tes widal tuh udah lewat jaman banget (istighfar) dan kurang akurat. Beliau juga menyarankan resep antibiotik yang kami dapat untuk disimpan saja, jaga-jaga bila ada infeksi sekunder setelah demam Aya turun, tapi ga perlu diberikan sekarang. Ternyata, antibiotik yang diresepkan adalah broad spectrum antibiotik, yang cakupan penyembuhannya luas, ga spesifik untuk radang tenggorokan, ah penjelasan yang mencerahkan.

Saya ambil kesempatan konsultasi ini untuk nanya “Apa yang harus dilakukan ketika anak demam mendadak tanpa disertai gejala selesma atau batuk pilek?”, pertanyaan ini jelas tujuannya agar saya dan suami punya pemahaman yang sama. Kan alhamdulillah banget kalau kedepannya ga ada lagi perdebatan receh soal kapan bawa anak ke dokter atau obat apa yang harus diminum. Jawabannya kurang lebih adalah “Kalau demamnya tinggi (38-40) tapi anaknya masih aktif, makan mau meski ga banyak, dan masih banyak minum, ga ada gejala lain seperti muntah atau buang-buang air, tunggu saja tiga hari baru periksakan ke dokter. Tapi lihat, kalau kondisi anak sudah lemas ga responsif atau kejang, gausah lihat suhu, hari pertama demam pun langsung ke rumah sakit. Tanda-tanda klinis penderita harus lebih diutamakan. Jangan berpatokan sama angka termometer, kecuali suhu sudah di atas 41 itu hiperpirexia,”.

Sama seperti ketika membahas angka termometer, beliau bilang hasil lab bisa saja tidak akurat karena banyak faktor yang memengaruhi. Hasilnya pun harus diinterpretasikan dengan bijak, contoh hasil tes widal positif bukan berarti kena tipes dan harus opname. Intinya, cek lab diperlukan untuk menambah keyakinan dokter akan diagnosis penyakit, atau ketika dokter tidak menemukan gejala yang pasti. Tapi tetap patokannya kondisi pasien. “Dokter itu ngobatin anak, bukan hasil tes darah atau suhu di termometer,” tegasnya.

Karena penyebab penyakit Aya adalah virus, kami alhamdulillah pulang dengan tangan hampa. Ga harus nebus obat maksudnya, cukup pastikan anak istirahat, cukup makan, banyak minum, dan mandi. “Dimandiin lho bu, jangan ga mandi” eh ada satu lagi pesan si ibu dokter ini, “Bu anaknya dipakein legging ya kan sudah besar,” nyahahaha saat itu memang Aya lagi pake dress. Bu dokternya syariah 😉

Wah, kesimpulannya dokter ini bukan cuma bantu nyembuhin Aya sih, tapi juga memulihkan emosi emak bapaknya Aya. Pulang dari sana saya jauh lebih bahagia, suami pun jadi paham dan kalem karena tau anaknya ditangani dengan benar. Ga berhenti bersyukur ya Allah :’) emang ya musibah bisa jadi berkah heuheu.

Eh yang mau tau siapa dokter ga oke itu, bisa DM saya ya. Amanat cerita ini adalah ngadepin anak sakit harus tenang, dan bapak ibu harap teliti milih dsa. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan 🙂

Assalamu’alaikum

Satu respons untuk “Drama Milih Dokter Anak di Hermina GrandWis

Tinggalkan komentar